Sekolah Dasar

Sabtu, 24 Mei 2014

PENDUKUNG KURIKULUM MULOK DAN KOMPONEN BUDAYA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN MULOK



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Daya Dukung Pelaksanaan Muatan Lokal
Pengembangan kurikulum muatan lokal telah sesuai dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi menyatakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) selain memuat beberapa mata pelajaran, juga terdapat mata pelajaran Muatan Lokal yang wajib diberikan pada semua tingkat satuan pendidikan. Penyusunan Rancangan pembelajarannya diserahkan kepada sekolah dan guru masing-masing, agar tidak terjadi kestatisan di saat pengaplikasiannya, proses pembelajaran yang diacu dengan kurikulum yang bersifat dinamis yang dapat membawa dampak ke arah kebermaknaan yaitu “the students know their needs” atau mereka mampu menciptakan kebutuhan diri mereka masing-masing “create their need”.
Paradigma di atas juga sudah tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1, ayat 1 samapai ayat 9 sangat menekan bahwa Pendidikan itu merupakan wahana untuk mengembangkan potensi masyarakat Indonesia seutuhnya, yang menuju kepada perubahan sikap dan perbaikan moral dan lain-lain.
Daya dukung pelaksanaan muatan lokal meliputi segala hal yang dianggap perlu dan penting untuk mendukung keterlaksanaan muatan lokal di satuan pendidikan.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah kebijakan mengenai muatan lokal, guru, sarana dan prasarana, dan manajemen sekolah.
1.    Kebijakan Muatan Lokal
Pelaksanaan muatan lokal harus didukung kebijakan, baik pada level pusat, provinsi, kabupaten/ kota, dan satuan pendidikan. Kebijakan diperlukan dalam hal:
a.    Kerjasama dengan lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta
b.    Pemenuhan kebutuhan sumber daya (ahli, peralatan, dana, sarana dan lain-lain) dan
c.    Penentuan jenis muatan lokal pada level kabupaten/kota/provinsi sebagai muatan lokal wajib pada daerah tertentu. Yang dimaksud daerah tertentu adalah daerah yang memiliki kondisi khusus seperti: rawan konflik, rawan sosial, rawan bencana, dan lain-lain.
2.    Guru
Guru yang ditugaskan sebagai pengampu muatan lokal adalah yang memiliki:
a.    Kemampuan atau keahlian dan/atau lulusan pada bidang yang relevan
b.    Pengalaman melakukan bidang yang diampu dan
c.    Minat tinggi terhadap bidang yang diampu
Guru muatan lokal dapat berasal dari luar satuan pendidikan, seperti: satuan pendidikan terdekat, tokoh masyarakat, pelaku sosial-budaya, dan lain-lain.
3.    Sarana dan Prasarana Sekolah
Kebutuhan sarana dan prasarana muatan lokal harus dipenuhi oleh satuan pendidikan. Jika satuan pendidikan belum mampu memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana, maka pemenuhannya dapat dibantu melalui kerjasama dengan pihak tertentu atau bantuan dari pihak lain.
4.    Manajemen Sekolah
Untuk memfasilitasi implementasi muatan lokal, kepala sekolah:
a.    Menugaskan guru, menjadwalkan, dan menyediakan sumber daya secara khusus untuk muatan local
b.    Menjaga konsistensi pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran umum dan muatan lokal khususnya dan
c.    Mencantumkan kegiatan pameran atau sejenisnya dalam kalender akademik satuan pendidikan

Pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan muatan lokal, antara lain :
1.    Satuan pendidikan
Kepala sekolah, guru, dan komite sekolah/madrasah secara bersama-sama mengembangkan materi/substansi/program muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi di sekitarnya.
2.    Pemerintah provinsi
Gubernur dan dinas pendidikan provinsi melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan menengah (SMA dan SMK).
3.    Kantor Wilayah Kementerian Agama
melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan menengah (MA dan MAK).
4.    Pemerintah Kabupaten/Kota
Bupati/walikota dan dinas pendidikan kabupaten/kota melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar (SD dan SMP).
5.    Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota
Melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar (MI dan MTs).

2.      Hal Yang Harus Diperhatikan dalam Mendukung Pembelajaran Muatan Lokal
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran muatan lokal; berkaitan dengan pengorganisasian bahan, pengelolaan guru, pengelolaan sarana pembelajaran, dan kerjasama antar instansi, sebagai berikut.
a.       Pengorganisasian bahan, hendaknya:
1.      Sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, baik perkembangan pengetahuan, cara berpikir, maupun perkembangan sosial dan emosionalnya;
2.      Dikembangkan dengan memperhatikan kedekatan dengan peserta didik, baik secara pisik maupun psikis;
3.      Dipilih yang bermakna dan bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari;
4.      Bersifat fleksibel, yaitu member keleluasaan bagi guru dalam memilih metode dan media pembelajaran;
5.      Mengacu pada pembentukkan kompetensi dasar tertentu secara jelas.
b.      Pengelolaan guru hendaknya:
1.      Memperhatikan relevansi antara latar belakang pendidikan dengan mata pelajaran yang diajarkannya
2.      Diusahakan yang pernah mengikuti penataran, pelatihan atau kursus tentang muatan lokal.
c.       Pengelolaan sarana pembelajaran hendaknya:
1.      Memanfaatkan sumber daya yang terdapat di lingkungan sekolah secara optimal.
2.      Diupayakan dapat dipenuhi oleh instansi terkait.
d.      Kerjasama antar Instansi. Untuk mewujudkan tujuan kurikulum muatan lokal, perlu diupayakan kerjasama antar instasi terkait, antara lain berupa:
1.      Pendanaan;
2.      Penyediaan nara sumber dan tenaga ahli;
3.      Penyediaan tempat kegiatan belajar; dan
4.      Hal-hal lain yang menunjang keberhasilan pembelajaran muatan lokal (E. Mulyasa, 2009).
Secara khusus, rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan muatan lokal adalah sebagai berikut :
1.      Sekolah yang mampu mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar beserta silabusnya dapat melaksanakan mata pelajaran muatan lokal.
2.      Bahan kajian hendaknya sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik yang mencakup perkembangan pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan social peserta didik.
3.      Program pengajaran hendaknya dikembangkan dengan melihat kedekatan dengan peserta didik yang meliputi dekat secara fisik dan secara psikis. Dekat secara fisik maksudnya terdapat dalam lingkungan tempat tinggal dan sekolah peserta didik, sedangkan dekat secara psikis maksudnya bahwa bahan kajian tersebut mudah dipahami oleh kemampuan berpikir dan mencernakan informasi sesuai dengan usianya. Untuk itu, bahan pengajaran hendaknya disusun berdasarkan prinsip belajar yaitu: (1) bertitik tolak dari hal-hal konkret ke abstrak; (2) dikembangkan dari yang diketahui ke yang belum diketahui; (3) dari pengalaman lama ke pengalaman baru; (4) dari yang mudah/sederhana ke yang lebih sukar/rumit. Selain itu bahan kajian/pelajaran hendaknya bermakna bagi peserta didik yaitu bermanfaat karena dapat membantu peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Bahan kajian/ pelajaran hendaknya memberikan keluwesan bagi guru dalam memilih metode mengajar dan sumber belajar seperti buku dan nara sumber.
5.      Bahan kajian muatan lokal yang diajarkan harus bersifat utuh dalam arti mengacu kepada suatu tujuan pengajaran yang jelas dan memberi makna kepada peserta didik.
6.      Alokasi waktu untuk bahan kajian/ pelajaran muatan lokal perlu memperhatikan jumlah minggu efektif untuk mata pelajaran muatan lokal pada setiap semester.

3.      Muatan Lokal dalam Rumpun Budaya
Dalam muatan lokal yang termasuk ke dalam rumpun budaya antara lain: Seni Rupa, Seni Suara, Seni Tari, Seni Peran, Budaya Tradisional, Budi Pekerti, Olah raga Tradisional, dan lain-lain. Di Sumatera dan pulau-pulau lain Aksara Arab Melayu dan Tulisan Arab Melayu sampai sekarang ini masih sangat populer dan perlu diajarkan sebagai salah satu bahan kajian. Karena buku-buku warisan Kerajaan Islam Melayu masih banyak tersimpan di pesantren-pesentren daerah Riau, bahkan bagi orang-orang tua yang masih hidup banyak menggunakan Aksara Arab Melayu ini sebagai alat komunikasi secara tertulis.
Tujuan kurikulum muatan lokal adalah siswa diharapkan dapat menjadi akrab dengan lingkungan, khusunya lingkungan budaya yang sudah dimiliki oleh masyarakat dan hidup di masyarakat tersebut sampai sekarang. Maka khusus untuk kesenian daerah disebutkan, tujuan yang diharapkan adalah mengembangkan bakat dan potensi kesenian daerah ang dimiliki oleh para siswa, serta untuk berperan serta dalam melestarikan budaya daerah yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Pendekatan yang tepat terhadap rumpun budaya adalah dengan pendekatan “menyatupadu”. Di dalam pendekatan tersebut siswa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan budaya yang dipelajari. Siswa harus masuk ke dalam budaya, menceburkan diri, masuk ke dalamnya. Jika kegiatan budaya tidak ada dalam arti tidak ada kegiatan budaya di lingkungan siswa, maka dapat dibuat tiruan atau simulasi (berpura-pura). Misalnya budaya berpantun di Masyarakat Melayu, atau memainkan wayang di Jawa. Dengan demikian siswa merasa meyatupadu dalam kegiatan budaya lokal.
Alasan adanya keharusan menyatupadu dengan budaya lokal adalah agar di dalam diri siswa dapat terjadi proses internalisasi (mendarahdaging). Terjadinya proses internalisasi dalam diri siswa terhadap budaya lokal, yaitu:
1.    Mengamati dengan seluruh indera
Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari siswa telah melakukan pengamatan dengan seluruh inderanya terhadap nilai budaya lingkungannya. Tapi untuk lebih mendekatkan kembali siswa denga budaya lokalnya perlu dirangsang kembali untuk mengamati objek kajadian atau kegiatan.
Contohnya siswa diajak mengamati upacara selapanan:
a.    Dengan indera mata, siswa melihat urutan peristiwa yang dilalui dalam upacara selapanan
b.    Dengan telinga (indera pendengar), siswa mendengar pidato tentang maksud upacara selapanan.
c.    Dengan indera peraba, siswa diminta meraba sesaji yang ditata di tempat uapcara, satu demu satu, bertanya tentang makna masing-masing simbul.
d.   Dengan penciuman, siswa diminta untuk membau/mencium berbagai benda yang khusu disajikan untuk upacara.
e.    Dengan pengecapan, siswa diminta untuk mencicipi makanan yang khas untuk peristiwa selapanan.
f.     Dengan indera kinestis (penggerak oto dan syaraf), siswa diminta untuk menirukan gerak-gerak yang dilakukan oleh petugas khusus sehubungan dengan upacara tersebut.
2.    Memahami seluruh aspek
Jika langkah pertama berjalan dengan lancar,dan siswa tersebut mengikutinya secara keseluruhan, secarara tidak langsung siswa tersebut sudah mengguanakan seluruh kemampuan untuk mengamati secra cermat.
3.    Merasa memilki
Dengan menceritakan peristiwa upacara selapanan siswa akan merasa banggga kerena sudah menyaksikan peristiwa unuk yang hanya ada di daerahnya.
4.    Mencintai
Menumbuhkan ra mencintai terhadap budaya juga masalah sulit. Yang lebih efektif adalah guru sendiri memberi contoh, bukan hanyabercerita tetapi melihat secara langsung. Jika upacara selametan dilakuakn secara berhari-hari dan berkali-kali, maka rasa memiliki tersebut dapat berkembang menjadi rasa cinta.
5.    Bersedia melakukan sesuatu
Inilah tahap yang paling tinggi dari proses internalisasi suatu budaya pada diri siswa. Jika siswa sudah sampai pada tingkat mencintai, biasanya demi cinta itu, siwa bersedia melakuakan sesuatu untuk hal yang dicintainya.

Ilmu budaya dasar muatan lokal merupakan bagian dari ilmu budaya dasar nasional. Dimasukkannya muatan lokal dalam ilmu budaya dasar nasional adalah untuk menyelaraskan apa yang diberikan kepada siswa dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di daerahnya; mengoptimalkan potensi dan sumber belajar yang ada di sekitarnya bagi kepentingan siswa; menumbuhkan dan mengembangkan minat, perhatian siswa sesuai dengan kebutuhan yang ada di sekitarnya; memperkenalkan dan menanamkan kehidupan sosial budaya serta nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada siswa sedini mungkin (Sudjana:1989).
Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka agar dapat diintegrasikan ke dalam ilmu budaya dasar nasional, muatan lokal harus memenuhi persyaratan berikut (Sudjana, 1989):
1.      Kekhasan lingkungan alam, lingkungan sosial budaya daerahnya;
2.      Menunjang kepentingan pembangunan daerahnya dan pembangunan nasional pada umumnya;
3.      Sesuai dengan kemampuan, minat, sikap, dan perhatian siswa;
4.      Didukung oleh pemerintah daerah setempat dan atau oleh masyarakat, baik dari segi program, dana, sarana, maupun fasilitas;
5.      Tersedia tenaga pengelola pelaksanaan serta sumber-sumber lain sehingga dapat dilaksanakan di sekolah;
6.      Dapat dilaksanakan, dibina, dikembangkan secara berkelanjutan, baik oleh pengelola tingkat nasional maupun tingkat daerah;
7.      Sesuai dan selaras dengan kemajuan dan inovasi pendidikan, kebutuhan masyarakat, minat dan kebutuhan siswa, serta masyarakat pada umumnya.
Agar tujuan diberlakukannya muatan lokal dapat terlaksana, maka sekolah tidak perlu menyusun GBPP baru, tetapi bahan-bahan pengajaran, alat dan sarana instruksional yang sesuai dengan lingkungan budayanya dapat disiapkan sendiri oleh sekolah tersebut. Bahan-bahan tersebut kemudian disampaikan kepada siswa pada saat membahas pokok bahasan bidang studi berdasarkan GBPP yang telah ditentukan.
Menurut Freire(1977), langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
1.      Tim pendidik bersama masyarakat menentukan tema umum yang dirasa penting, misalnya budaya daerah, keterbelakangan, atau bahasa daerah.
2.      Berdasarkan tema yang dipilih, sejumlah ahli bidang pendidikan, dibantu oleh wakil dari masyarakat, melalui dialog yang kooperatif, mengembangkan ilmu budaya dasar (muatan lokal), dan menentukan sumber belajar yang akan digunakan.
Mulyani Sumantri (1988) juga menyatakan bahwa dalam pengembangan ilmu budaya dasar, sebaiknya dilibatkan pula beberapa anggota masyarakat tertentu, orang tua, guru, bahkan siswa sendiri. Oleh sebab itu sebenarnya proses mengidentifikasi unsur-unsur muatan lokal memerlukan pemikiran dari berbagai pihak terkait, tenaga, waktu, biaya, serta sarana yang cukup memadai.
Dari segi langkah kerjanya, proses pengidentifikasian program pendidikan ini harus melalui 8 langkah, seperti yang dikemukakan oleh Lehmann (1978) berikut ini:
1.      Merumuskan kebutuhan;
2.      Merumuskan tujuan;
3.      Mengidentifikasi kendala-kendala;
4.      Mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah;
5.      Melakukan pemilihan cara pemecahan masalah;
6.      Implementasi;
7.      Evaluasi;
8.      Modifikasi.
Dalam buku petunjuk penerapan muatan lokal yang dikeluarkan oleh Depdikbud (1987) dikemukakan langkah-langkah penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sebagai berikut:
a.         Menentukan dan menggunakan fakta-fakta yang ada di daerah berkaitan dengan bahan pengajaran suatu pokok bahasan yang ada dalam GBPP
b.        Menentukaan dan menerapkan suatu prinsip atau generalisasi untuk menjelaskan kejadian alamiah atau kejadian tiruan, memecahkan masalah dalam hidup sehari-hari, atau meningkatkan budaya masyarakat setempat
Mengidentifikasi kondisi alam, kondisi sosial dan budaya yang khas daerah setempat yang perlu dilestarikan dan dikembangkan, serta dimasukkan sebagai program sekolah.