BAB II
PEMBAHASAN
1. Daya Dukung
Pelaksanaan Muatan Lokal
Pengembangan kurikulum muatan lokal telah sesuai dengan Permendiknas No. 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi menyatakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) selain memuat beberapa mata pelajaran, juga terdapat mata
pelajaran Muatan Lokal yang wajib diberikan pada semua tingkat satuan
pendidikan. Penyusunan Rancangan
pembelajarannya diserahkan kepada sekolah dan guru masing-masing, agar tidak
terjadi kestatisan di saat pengaplikasiannya, proses pembelajaran yang diacu
dengan kurikulum yang bersifat dinamis yang dapat membawa dampak ke arah
kebermaknaan yaitu “the students know their needs” atau mereka mampu menciptakan
kebutuhan diri mereka masing-masing “create their need”.
Paradigma di atas juga sudah tertuang dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1, ayat 1 samapai ayat 9 sangat menekan bahwa Pendidikan
itu merupakan wahana untuk mengembangkan potensi masyarakat Indonesia
seutuhnya, yang menuju kepada perubahan sikap dan perbaikan moral dan
lain-lain.
Daya dukung pelaksanaan muatan lokal meliputi segala hal yang dianggap
perlu dan penting untuk mendukung keterlaksanaan muatan lokal di satuan pendidikan.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah kebijakan mengenai
muatan lokal, guru, sarana dan prasarana, dan manajemen sekolah.
1.
Kebijakan Muatan Lokal
Pelaksanaan muatan lokal harus
didukung kebijakan, baik pada level pusat, provinsi, kabupaten/ kota, dan satuan pendidikan. Kebijakan
diperlukan dalam hal:
a.
Kerjasama
dengan lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta
b.
Pemenuhan
kebutuhan sumber daya (ahli, peralatan, dana, sarana dan lain-lain) dan
c.
Penentuan jenis
muatan lokal pada level kabupaten/kota/provinsi sebagai muatan lokal wajib pada
daerah tertentu. Yang dimaksud daerah tertentu adalah daerah yang memiliki
kondisi khusus seperti: rawan konflik, rawan sosial, rawan bencana, dan
lain-lain.
2.
Guru
Guru yang ditugaskan sebagai pengampu muatan lokal
adalah yang memiliki:
a.
Kemampuan atau
keahlian dan/atau lulusan pada bidang yang relevan
b.
Pengalaman melakukan bidang yang
diampu dan
c.
Minat tinggi terhadap bidang yang
diampu
Guru muatan
lokal dapat berasal dari luar satuan pendidikan, seperti: satuan pendidikan
terdekat, tokoh masyarakat, pelaku sosial-budaya, dan lain-lain.
3.
Sarana dan Prasarana Sekolah
Kebutuhan sarana dan prasarana
muatan lokal harus dipenuhi oleh satuan pendidikan. Jika satuan pendidikan
belum mampu memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana, maka pemenuhannya dapat
dibantu melalui kerjasama dengan pihak tertentu atau bantuan dari pihak lain.
4.
Manajemen Sekolah
Untuk memfasilitasi implementasi
muatan lokal, kepala sekolah:
a.
Menugaskan guru, menjadwalkan,
dan menyediakan sumber daya secara khusus untuk muatan local
b.
Menjaga konsistensi pembelajaran
sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran umum dan muatan lokal khususnya dan
c.
Mencantumkan kegiatan pameran
atau sejenisnya dalam kalender akademik satuan pendidikan
Pihak-pihak yang terkait dengan
pengembangan dan pengelolaan muatan lokal, antara lain :
1.
Satuan pendidikan
Kepala sekolah, guru, dan komite sekolah/madrasah
secara bersama-sama mengembangkan materi/substansi/program muatan lokal yang sesuai
dengan kebutuhan dan potensi di sekitarnya.
2.
Pemerintah provinsi
Gubernur dan dinas pendidikan
provinsi melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada
pendidikan menengah (SMA dan SMK).
3.
Kantor Wilayah Kementerian Agama
melakukan koordinasi dan
supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan menengah (MA dan MAK).
4.
Pemerintah Kabupaten/Kota
Bupati/walikota dan dinas
pendidikan kabupaten/kota melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan
lokal pada pendidikan dasar (SD dan SMP).
5.
Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota
Melakukan koordinasi dan
supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar (MI dan MTs).
2.
Hal
Yang Harus Diperhatikan dalam
Mendukung Pembelajaran Muatan Lokal
Beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam pembelajaran muatan lokal; berkaitan dengan
pengorganisasian bahan, pengelolaan guru, pengelolaan sarana pembelajaran, dan
kerjasama antar instansi, sebagai berikut.
a.
Pengorganisasian
bahan, hendaknya:
1.
Sesuai
dengan tingkat perkembangan peserta didik, baik perkembangan pengetahuan, cara
berpikir, maupun perkembangan sosial dan emosionalnya;
2.
Dikembangkan
dengan memperhatikan kedekatan dengan peserta didik, baik secara pisik maupun
psikis;
3.
Dipilih
yang bermakna dan bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari;
4.
Bersifat
fleksibel, yaitu member keleluasaan bagi guru dalam memilih metode dan media
pembelajaran;
5.
Mengacu
pada pembentukkan kompetensi dasar tertentu secara jelas.
b.
Pengelolaan
guru hendaknya:
1.
Memperhatikan
relevansi antara latar belakang pendidikan dengan mata pelajaran yang
diajarkannya
2.
Diusahakan
yang pernah mengikuti penataran, pelatihan atau kursus tentang muatan lokal.
c.
Pengelolaan
sarana pembelajaran hendaknya:
1. Memanfaatkan sumber daya yang terdapat di lingkungan
sekolah secara optimal.
2.
Diupayakan
dapat dipenuhi oleh instansi terkait.
d.
Kerjasama
antar Instansi. Untuk mewujudkan tujuan kurikulum muatan lokal, perlu
diupayakan kerjasama antar instasi terkait, antara lain berupa:
1.
Pendanaan;
2.
Penyediaan
nara sumber dan tenaga ahli;
3.
Penyediaan
tempat kegiatan belajar; dan
4.
Hal-hal
lain yang menunjang keberhasilan pembelajaran muatan lokal (E. Mulyasa, 2009).
Secara khusus, rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan muatan lokal adalah sebagai berikut :
1.
Sekolah
yang mampu mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar beserta
silabusnya dapat melaksanakan mata pelajaran muatan lokal.
2.
Bahan
kajian hendaknya sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik yang mencakup
perkembangan pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan social peserta
didik.
3.
Program
pengajaran hendaknya dikembangkan dengan melihat kedekatan dengan peserta didik
yang meliputi dekat secara fisik dan secara psikis. Dekat secara fisik maksudnya
terdapat dalam lingkungan tempat tinggal dan sekolah peserta didik, sedangkan
dekat secara psikis maksudnya bahwa bahan kajian tersebut mudah dipahami oleh
kemampuan berpikir dan mencernakan informasi sesuai dengan usianya. Untuk itu,
bahan pengajaran hendaknya disusun berdasarkan prinsip belajar yaitu: (1) bertitik
tolak dari hal-hal konkret ke abstrak; (2) dikembangkan dari yang diketahui ke
yang belum diketahui; (3) dari pengalaman lama ke pengalaman baru; (4) dari
yang mudah/sederhana ke yang lebih sukar/rumit. Selain itu bahan kajian/pelajaran
hendaknya bermakna bagi peserta didik yaitu bermanfaat karena dapat membantu
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
4.
Bahan
kajian/ pelajaran hendaknya memberikan keluwesan bagi guru dalam memilih metode
mengajar dan sumber belajar seperti buku dan nara sumber.
5.
Bahan
kajian muatan lokal yang diajarkan harus bersifat utuh dalam arti mengacu kepada
suatu tujuan pengajaran yang jelas dan memberi makna kepada peserta didik.
6.
Alokasi
waktu untuk bahan kajian/ pelajaran muatan lokal perlu memperhatikan jumlah minggu
efektif untuk mata pelajaran muatan lokal pada setiap semester.
3.
Muatan
Lokal dalam Rumpun Budaya
Dalam muatan
lokal yang termasuk ke dalam rumpun budaya antara lain: Seni Rupa, Seni Suara,
Seni Tari, Seni Peran, Budaya Tradisional, Budi Pekerti, Olah raga Tradisional,
dan lain-lain. Di Sumatera dan pulau-pulau lain Aksara Arab Melayu dan Tulisan
Arab Melayu sampai sekarang ini masih sangat populer dan perlu diajarkan
sebagai salah satu bahan kajian. Karena buku-buku warisan Kerajaan Islam Melayu
masih banyak tersimpan di pesantren-pesentren daerah Riau, bahkan bagi
orang-orang tua yang masih hidup banyak menggunakan Aksara Arab Melayu ini
sebagai alat komunikasi secara tertulis.
Tujuan
kurikulum muatan lokal adalah siswa diharapkan dapat menjadi akrab dengan
lingkungan, khusunya lingkungan budaya yang sudah dimiliki oleh masyarakat dan
hidup di masyarakat tersebut sampai sekarang. Maka khusus untuk kesenian daerah
disebutkan, tujuan yang diharapkan adalah mengembangkan bakat dan potensi
kesenian daerah ang dimiliki oleh para siswa, serta untuk berperan serta dalam
melestarikan budaya daerah yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Pendekatan
yang tepat terhadap rumpun budaya adalah dengan pendekatan “menyatupadu”. Di
dalam pendekatan tersebut siswa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kegiatan budaya yang dipelajari. Siswa harus masuk ke dalam budaya, menceburkan
diri, masuk ke dalamnya. Jika kegiatan budaya tidak ada dalam arti tidak ada
kegiatan budaya di lingkungan siswa, maka dapat dibuat tiruan atau simulasi
(berpura-pura). Misalnya budaya berpantun di Masyarakat Melayu, atau memainkan
wayang di Jawa. Dengan demikian siswa merasa meyatupadu dalam kegiatan budaya
lokal.
Alasan adanya
keharusan menyatupadu dengan budaya lokal adalah agar di dalam diri siswa dapat
terjadi proses internalisasi (mendarahdaging). Terjadinya proses internalisasi
dalam diri siswa terhadap budaya lokal, yaitu:
1. Mengamati
dengan seluruh indera
Sebenarnya dalam kehidupan
sehari-hari siswa telah melakukan pengamatan dengan seluruh inderanya terhadap
nilai budaya lingkungannya. Tapi untuk lebih mendekatkan kembali siswa denga
budaya lokalnya perlu dirangsang kembali untuk mengamati objek kajadian atau
kegiatan.
Contohnya
siswa diajak mengamati upacara selapanan:
a.
Dengan
indera mata, siswa melihat urutan peristiwa yang dilalui dalam upacara
selapanan
b. Dengan
telinga (indera pendengar), siswa mendengar pidato tentang maksud upacara
selapanan.
c. Dengan
indera peraba, siswa diminta meraba sesaji yang ditata di tempat uapcara, satu
demu satu, bertanya tentang makna masing-masing simbul.
d. Dengan
penciuman, siswa diminta untuk membau/mencium berbagai benda yang khusu
disajikan untuk upacara.
e.
Dengan
pengecapan, siswa diminta untuk mencicipi makanan yang khas untuk peristiwa
selapanan.
f.
Dengan
indera kinestis (penggerak oto dan syaraf), siswa diminta untuk menirukan
gerak-gerak yang dilakukan oleh petugas khusus sehubungan dengan upacara
tersebut.
2. Memahami
seluruh aspek
Jika langkah pertama berjalan
dengan lancar,dan siswa tersebut mengikutinya secara keseluruhan, secarara
tidak langsung siswa tersebut sudah mengguanakan seluruh kemampuan untuk
mengamati secra cermat.
3. Merasa
memilki
Dengan menceritakan peristiwa upacara
selapanan siswa akan merasa banggga kerena sudah menyaksikan peristiwa unuk
yang hanya ada di daerahnya.
4. Mencintai
Menumbuhkan ra
mencintai terhadap budaya juga masalah sulit. Yang lebih efektif adalah guru
sendiri memberi contoh, bukan hanyabercerita tetapi melihat secara langsung.
Jika upacara selametan dilakuakn secara berhari-hari dan berkali-kali, maka
rasa memiliki tersebut dapat berkembang menjadi rasa cinta.
5. Bersedia
melakukan sesuatu
Inilah tahap yang paling tinggi
dari proses internalisasi suatu budaya pada diri siswa. Jika siswa sudah sampai
pada tingkat mencintai, biasanya demi cinta itu, siwa bersedia melakuakan
sesuatu untuk hal yang dicintainya.
4.
Muatan Lokal Ilmu
budaya Dasar Sekolah
Dasar
Ilmu budaya dasar muatan lokal
merupakan bagian dari ilmu budaya dasar nasional. Dimasukkannya muatan lokal
dalam ilmu budaya dasar nasional adalah untuk menyelaraskan apa yang diberikan
kepada siswa dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di daerahnya; mengoptimalkan
potensi dan sumber belajar yang ada di sekitarnya bagi kepentingan
siswa; menumbuhkan dan mengembangkan minat, perhatian siswa sesuai dengan
kebutuhan yang ada di sekitarnya; memperkenalkan dan menanamkan kehidupan
sosial budaya serta nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada
siswa sedini mungkin (Sudjana:1989).
Sejalan dengan pernyataan
tersebut, maka agar dapat diintegrasikan ke dalam ilmu budaya dasar nasional,
muatan lokal harus memenuhi persyaratan berikut (Sudjana, 1989):
1.
Kekhasan lingkungan alam, lingkungan
sosial budaya daerahnya;
2.
Menunjang kepentingan pembangunan
daerahnya dan pembangunan nasional pada umumnya;
3.
Sesuai dengan
kemampuan, minat, sikap, dan perhatian siswa;
4.
Didukung oleh
pemerintah daerah setempat dan atau oleh masyarakat, baik dari segi program,
dana, sarana, maupun fasilitas;
5.
Tersedia tenaga
pengelola pelaksanaan serta sumber-sumber lain sehingga dapat dilaksanakan di
sekolah;
6.
Dapat
dilaksanakan, dibina, dikembangkan secara berkelanjutan, baik oleh pengelola
tingkat nasional maupun tingkat daerah;
7.
Sesuai dan
selaras dengan kemajuan dan inovasi pendidikan, kebutuhan masyarakat, minat dan
kebutuhan siswa, serta masyarakat pada umumnya.
Agar tujuan diberlakukannya muatan lokal dapat
terlaksana, maka sekolah tidak perlu menyusun GBPP baru, tetapi bahan-bahan
pengajaran, alat dan sarana instruksional yang sesuai dengan lingkungan
budayanya dapat disiapkan sendiri oleh sekolah tersebut.
Bahan-bahan tersebut kemudian disampaikan kepada siswa pada saat membahas pokok
bahasan bidang studi berdasarkan GBPP yang telah ditentukan.
Menurut Freire(1977),
langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
1.
Tim pendidik bersama masyarakat
menentukan tema umum yang dirasa penting, misalnya budaya daerah,
keterbelakangan, atau bahasa daerah.
2.
Berdasarkan tema yang dipilih,
sejumlah ahli bidang pendidikan, dibantu oleh wakil dari masyarakat, melalui
dialog yang kooperatif, mengembangkan ilmu budaya dasar (muatan lokal), dan
menentukan sumber belajar yang akan digunakan.
Mulyani Sumantri (1988) juga
menyatakan bahwa dalam pengembangan ilmu budaya dasar, sebaiknya dilibatkan pula beberapa anggota masyarakat tertentu, orang tua, guru, bahkan siswa
sendiri. Oleh sebab itu sebenarnya proses mengidentifikasi unsur-unsur muatan
lokal memerlukan pemikiran dari berbagai pihak terkait, tenaga, waktu, biaya,
serta sarana yang cukup memadai.
Dari segi langkah kerjanya,
proses pengidentifikasian program pendidikan ini harus melalui 8 langkah,
seperti yang dikemukakan oleh Lehmann (1978) berikut ini:
1.
Merumuskan kebutuhan;
2.
Merumuskan tujuan;
3.
Mengidentifikasi kendala-kendala;
4.
Mengidentifikasi alternatif
pemecahan masalah;
5.
Melakukan
pemilihan cara pemecahan masalah;
6.
Implementasi;
7.
Evaluasi;
8.
Modifikasi.
Dalam buku petunjuk penerapan muatan lokal yang
dikeluarkan oleh Depdikbud (1987) dikemukakan langkah-langkah penggunaan
lingkungan sebagai sumber belajar sebagai berikut:
a.
Menentukan dan menggunakan
fakta-fakta yang ada di daerah berkaitan dengan bahan pengajaran suatu pokok
bahasan yang ada dalam GBPP
b.
Menentukaan dan menerapkan suatu
prinsip atau generalisasi untuk menjelaskan kejadian alamiah atau kejadian
tiruan, memecahkan masalah dalam hidup sehari-hari, atau meningkatkan budaya
masyarakat setempat
Mengidentifikasi kondisi alam, kondisi sosial dan
budaya yang khas daerah setempat yang perlu dilestarikan dan dikembangkan,
serta dimasukkan sebagai program sekolah.