HAKIKAT MANAJEMEN SEKOLAH
A.
Pengertian
Menurut Stoner Manajemen secara umum yang dikutip oleh
T. Hani Handoko (1995) manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan
sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang
telah ditetapkan.
Sudjana (2000 : 77) :
Manajemen merupakan rangkaian berbagai kegiatan wajar yang dilakukan seseorang berdasarkan
norma-norma yang telah ditetapkan dan dalam pelaksanaannya memiliki hubungan
dan saling keterkaitan dengan lainnya. Hal tersebut dilaksanakan oleh orang
atau beberapa orang yang ada dalam organisasi dan diberi tugas untuk
melaksanakan kegiatan tersebut.
Sedangkan dalam konteks sekolah yaitu Manajemen
sekolah menurut buku manajamen sekolah sebenarnya merupakan aplikasi ilmu
manajemen dalam bidang persekolahan. Ketika istilah manajemen diterapkan dalam
bidang pemerintahan akan menjadi manajemen pemerintahan, dalam bidang
pendidikan menjadi manajemen pendidikan, begitu seterusnya.
Berdasarkan fungsi pokoknya,
istilah manajemen mempunyai fungsi penting, yaitu:
1. Merencanakan (planning)
2.
Mengorganisasikan
(organizing)
3.
Mengarahkan (directing)
4.
Mengawasi (controlling)
B.
Ruang Lingkup
Manajemen (berbasis)
sekolah, memberikan kewenangan penuh kepada pihak sekolah untuk merencanakan,
mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi
komponen-komponen pendidikan sekolah yang bersangkutan. Komponen-komponen
tersebut meliputi:
1. Input siswa (kesiswaan)
2.
Kurikulum
3.
Tenaga kependidikan
4.
Sarana-prasarana
5.
Dana
6.
Lingkungan (hubungan sekolah
dengan masyarakat)
7.
Kegiatan belajar-mengajar,
yang secara diagramatis seperti di bawah ini.
Gambar 1
Berbagai Komponen Pendidikan Yang Perlu Dikelola
Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
Komponen-komponen
tersebut merupakan sub-sistem dalam sistem pendidikan (sistem pembelajaran). Bila terdapat perubahan pada
salah satu sub-sistem (komponen), maka menuntut perubahan/ penyesuaian komponen
lainnya. Dalam hal ini, bila dalam suatu kelas terdapat perubahan pada input
siswa, yakni tidak hanya menampung anak normal tetapi juga anak luar biasa,
maka menuntut penyesuaian (modifikasi) pengelolaan kesiswaan, kurikulum
(program pengajaran), tenaga kependidikan, sarana-prasarana, dana, lingkungan,
serta kegiatan belajar-mengajar.
C. Prinsip Umum
1.
Manajemen Sekolah bersifat praktis dan fleksibel,
dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan situasi nyata di sekolah.
2.
Manajemen Sekolah berfungsi sebagai sumber informasi
bagi peningkatan pengelolaan pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar.
3.
Manajemen Sekolah dilaksanakan dengan suatu system
mekanisme kerja yang menunjang realisasi pelaksanaan kurikulum.
D.
Kriteria
Manager Pendidikan
Dalam
pelaksanaan manajemen, termasuk manajemen pendidikan/ sekolah, perlu seorang manajer/pemimpin/administrator
yang berpandangan luas dan berkemampuan, baik dari segi pengetahuan,
keterampilan, maupun sikap. Seorang manajer/pemimpin/administrator
pendidikan/sekolah diharapkan:
1.
Memiliki pengetahuan tentang administrasi pendidikan/sekolah
yang meliputi kegiatan mengatur: (a) kesiswaan, (b) kurikulum, (c) ketenagaan,
(d) sarana-prasarana, (e) keuangan, (f) hubungan dengan masyarakat, (h) kegiatan
belajar-mengajar.
2.
Memiliki keterampilan dalam bidang: (a) perencanaan,
(b) pengorganisasian, (c) pengarahan, (d) pengkoordinasian, (e) pengawasan, dan
(f) penilaian pelaksanaan kegiatan yang ada di bawah tanggungjawabnya.
3.
Memiliki sikap:
a.
Memahami dan melaksanakan kebijakan yang telah
digariskan oleh pimpinan;
b.
Menghargai peraturan-peraturan serta melaksanakannya;
c.
Menghargai cara berpikir yang rasional, demokratis,
dinamis, kreatif, dan terbuka terhadap pembaharuan pendidikan serta bersedia
menerima kritik yang membangun; dan
d.
Saling mempercayai sebagai dasar dalam pembagian
tugas.
E.
Permasalahan
Manajemen Sekolah
Tak ubahnya seperti manusia yang
memiliki masalah dalam perjalanan hidupnya, manajemen sekolah juga memiliki
masalah dalam pelaksanaannya, antara lain:
1.
Resistensi
terhadap perubahan
Setidaknya ada dua
jenis resistensi terhadap penerapan MBS yaitu resistensi pada sumberdaya
manusia dan resistensi pada organisasi. Resistensi pada sumberdaya manusia
disebabkan oleh ketidakmampuan, ketakutan terhadap perubahan, kurang bisa
melihat keuntungan, kekurangpercayaan, dan merasa terganggu terhadap kemapanan
yang telah lama melekat padanya.
Sedang resistensi pada
organisasi setidaknya meliputi struktur organisasi sekolah termasuk pembagian
kerja yang belum pas dalam sekolah dan antara sekolah dengan dinas pendidikan
dan komite sekolah.
Pemecahan:
Perlu
dilakukan restrukturisasi organisasi sekolah agar roles, relationships, rules
and regularities and accountabity sesuai dengan keyakinan, nilai, dan norma-norma
baru yang terkandung dalam MBS. Selain itu, sekolah perlu menumbuhkan dan
mengembangkan kultur baru yang dituntut oleh MBS melalui penyadaran (diskusi,
pembiasaan, contoh, dsb.) bahwa kehidupan adalah perubahan sehingga kemapanan
yang selama ini mereka miliki perlu dicairkan.
2.
Miskin
wawasan tentang konsep sekolah sebagai sistem
Miskinnya
wawasan warga sekolah dan unsur-unsur terkait tentang konsep sekolah sebagai
sistem. Terlihat cara berpikir mereka sering parsial (tidak utuh/holistic),
meloncat-loncat (tidak runtut), dan kurang memahami bahwa upaya-upaya yang
ditempuh dalam mengembangkan sekolah haruslah dilakukan secara kolektif dan
bukannya isolatif.
Pemecahan:
Perlu
dilakukan sosialisasi tentang pentingnya berpikir sistem, cara-cara berpikir
sistem, dan penerapannya untuk pengelolaan dan pengembangan sekolah sehingga
tertanam cara-cara berpikir dan perbuatan yang bersifat holistik/sistemik.
Sosialisasi dapat dilakukan melalui penataran dan pembimbingan.
3.
Kesulitan
dalam menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS)
RPS
merupakan dynamic blue print sekolah yang memuat gambaran kegiatan sekolah di
masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan sekolah yang telah
ditetapkan. Perlu digarisbahwahi bahwa dalam situasi yang turbulen seperti saat
ini, RPS harus bersifat luwes/kenyal dan dinamis (planning dynamics), tidak
kaku. Selain itu, RPS harus menerapkan prinsip-prinsip RPS yang baik yaitu:
memperbaiki output sekolah, demand driven (prioritas kebutuhan sekolah),
partisipasi, keterwakilan, data driven, realistis sesuai dengan hasil analisis
SWOT, mendasarkan pada hasil review dan evaluasi, keterpaduan,
holistic/tersistem, dan transparansi.
Pemecahan:
Perlu
dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam menyusun RPS melalui penerbitan
pedoman/panduan penyusunan RPS dan penataran-panataran penyusunan RPS yang
dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya sudah dilakukan sehingga yang
diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.
4.
Miskin
wawasan tentang konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)
Secara
agregatif, masih banyak sekolah yang belum memahami esensi konsep MBS. Masih
banyak juga sekolah yang belum melaksanakan MBS secara konsisten menurut aspek
dan fungsi manajemen secara utuh. Aspek-aspek manajemen sekolah yang dimaksud
meliputi kurikulum, tenaga/sumberdaya manusia, siswa, sarana dan prasarana,
dana, dan hubungan masyarakat.
Pemecahan:
Pemecahan:
Seperti
butir 3, perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam memahami dan
melaksanakan MBS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan MBS dan
penataran-panataran MBS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya juga
sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan
ekstensifikasinya.
5.
Kesulitan
menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik
Pengamatan
selama ini menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum menerapkan
prinsip-prinsip MBS yang baik secara konsisten, yaitu partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum, cepat tanggap,
demokrasi, tanggungjawab, efisiensi dan efektivitas, profesionalisme,
berwawasan ke depan (futuristic), dan pengawasan serta kontrol yang efektif.
Pemecahan:
Perlu
diterbitkan panduan yang spesifik tentang prinsip-prinsip MBS yang baik dan
dilakukan focus group discussion (FGD) lintas unsur-unsur dalam sekolah dan
dengan lintas organisasi yaitu dengan Komite Sekolah, Dinas Pendidikan, dan
Dewan Pendidikan. Penyusunan RPS yang dilakukan secara partisipatif, laporan
program dan keuangan yang dilakukan secara transparan dan akuntabel adalah merupakan
upaya untuk merealisasikan prinsip-prinsip MBS yang baik.
6.
Kesiapan
Sekolah dalam melaksanakan KBK
Kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) telah dikenalkan di sejumlah sekolah. Namun setelah
dicermati, tingkat kesiapan mereka belum memadai seperti yang dituntut oleh
KBK.
Pemecahan:
Perlu
penyusunan panduan pelaksanaan KBK yang lebih akurat, perlu sosialisasi KBK
lebih intensif melalui lokakarya bagi seluruh unsur yang terkait dengan
implementasi KBK, dan perlu dukungan sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya
(dana, sarana prasarana) karena KBK menuntut pembelajaran yang lebih konkret
bukan sekadar abstrak, realitas dan bukan artificial, actual dan bukan sekadar
tekstual, nyata dan tidak sekadar maya, dan ini semua hanya bisa dilakukan
melalui pendekatan pembelajaran learning by doing, mastery learning, and
contextual learning, yang jelas memerlukan sarana dan prasarana.
7.
Ketidak
jelasan dalam manajemen tenaga kependidikan
Masalah
manajemen tenaga kependidikan di sekolah sebenarnya sudah secara konseptual
telah jelas karena P3D (personel, peralatan, pendanaan, dan dokumen) sudah
diserahkan ke daerah. Yang belum jelas adalah implementasinya. Sampai saat ini,
perencanaan, rekrutmen, penempatan, pemanfaatan, pengembangan, pemutasian,
hubungan kerja, penilaian kinerja, pendataan, dan hal-hal lain yang terkait
dengan manajemen tenaga kependidikan masih kurang jelas. Tidak hanya itu,
rekrutmen kepala sekolah tidak lagi sepenuhnya menggunakan
persyaratan-persyaratan sebagaimana dituntut oleh Kepmendikbud nomor 0296/U/1996
(diperbarui menjadi Kepmendiknas nomor 17/U/2003).
Pemecahan:
Perlu
dibahas secara intensif tentang manajemen tenaga kependidikan melalui
pertemuan-pertemuan lintas organisasi yaitu Sekolah, Dinas Pendidikan dan Pemda
Kabupaten/Kota/Propinsi, dan Depdiknas untuk mencari solusi kejelasan
implementasi manajemen tenaga kependidikan.
8.
Belum
optimalnya partisipasi/dukungan stakeholders
Salah
satu inti MBS adalah partisipasi, baik dari warga dalam sekolah maupun warga
masyarakat yang berpengaruh maupun yang dipengaruhi oleh sekolah
(stakeholders). Wadah partisipasi stakeholders sudah ada yaitu Komite Sekolah,
namun dukungan riil dari mereka, baik intelektual, moral, financial, dan
material, masih beragam.
Pemecahan:
Perlu
dilakukan advokasi melalui pertemuan-pertemuan, perlu meningkatkan partisipasi
stakeholders dalam berbagai kegiatan sekolah, perlu publikasi melalui media
tertulis/elektronik, perlu komunikasi secara intensif melalui berbagai media,
perlu digalakkan transparansi, dan perlu peningkatan relasisasi dengan
stakeholders melalui berbagai events.
9.
Kekurangjelasan
tata pemerintahan pendidikan
Telah
terbukti bahwa masih banyak tumpang tindih pembagian kerja (division of labor)
antara unsur-unsur yang terkait dengan sekolah. Pembagian kerja antara Sekolah
dan Komite Sekolah, pembagian kerja antara Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan,
dan antara Dewan Pendidikan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masih
memerlukan kejelasan. Jika demikian, tata pemerintahan dalam pendidikan
(governance in education) akan kurang mendukung terhadap implementasi MBS.
Pemecahan:
Perlu
dibahas secara lintas organisasi mengenai fungsi, struktur organisasi,
pembagian kerja (division of labor) dari masing-masing pihak yang terkait
dengan tata pemerintahan pendidikan di sekolah melalui lokakarya dan pengkajian
tentang praktek-praktek terbaik tata pemerintahan pendidikan di sekolah-sekolah
lain.
Sumber:
Konsep Manajemen
Sekolah. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Konsep%20Manajemen%20Sekolah.pdf.diakses
pada 8 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar