SISTEM MUSYAWARAH ATAU SYURA
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas individu
Mata
Kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen
: Drs. Ali Sunarso, M.Pd
Oleh
:
Siti
Rohmaniyah (1401412331)
Rombel
: 82
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam kehidupan bersama,
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa, musyawarah merupakan
sesuatu yang harus dilakukan. Hal ini karena dalam kehidupan berjamaah, ada
banyak kepentingan, kebutuhan maupun persoalan yang harus dihadapi dan diatasi
secara bersama-sama agar bisa terjalin kerjasama yang baik.
Dalam agama
islam telah diajarkan bahwa menyelesaikan permasalahan tidak harus dengan emosi
atau atas kehendak sendiri, melainkan dengan jalan musyawarah.
Dalam proses
musyawarah itu berlangsung dialog dan komunikasi sesuai dengan prinsip-prinsip
akhlak untuk menegakkan nilai-nilai Islam.
Musyawarah telah menjadi wacana yang sangat menarik. Hal itu terjadi karena
istilah ini disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits, sehingga musyawarah secara
tekstual merupakan fakta wahyu yang tersurat dan bisa menjadi ajaran normatif
dalam Islam. Bahkan menjadi sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan umat
manusia, yang dalam setiap detik perkembangan umat manusia, musyawarah
senantiasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan di tengah perkembangan
kehidupan umat manusia.
Musyawarah yang diajarkan oleh al-Qur’an bisa dianggap sebagai tawaran
konsep utuh yang selalu relevan dengan setiap perkembangan politik umat manusia karena musyawarah merupakan ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan.
Rasulullah
telah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim dengan perkataan dan
perbuatan, dan para sahabat dan tabi’in para pendahulu umat Islam mengikuti
petunjuk beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi salah satu ciri khas dalam
masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian musyawarah (syura) ?
2.
Bagaimana penjelasan musyawarah dalam ayat Al-Quran ?
3.
Apa kaidah-kaidah dalam musyawarah ?
4.
Apa saja hikmah melaksanakan musyawarah ?
5.
Apa saja prinsip dasar musyawarah ?
C. Tujuan
1.
Mengetahui berbagai macam pendapat tentang pengertian
dari musyawarah.
2.
Mengetahui ayat-ayat suci Al-Quran yang mengandung
makna musyawarah.
3.
Mengetahui kaidah-kaidah dalam musyawarah.
4.
Mengetahui hikmah dalam melaksanakan kegiatan
musyawarah.
5.
Mengetahui prinsip-prnsip dasar musyawarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Musyawarah
(Syura)
Secara bahasa syûrâ bisa
berarti mengambil, melatih, menyodorkan diri, dan meminta pendapat atau
nasihat. Secara umum, asy-syûrâ artinya meminta sesuatu. Kata ( شور ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة-
إستشاورة) menjadi شورى ) ) Syûrâ. Kata Syûrâ
bermakna mengambil dan mengeluarkan
pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang
lain. Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik
dari serbuknya dan wadahnya Kata ini terambil dari kalimat (شرلت العس) saya mengeluarkan madu dari wadahnya.
Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah
adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain,
pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang
menyampaikannya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang
lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan
dengan perundingan atau tukar pikiran. Perundingan itu juga disebut musyawarah,
karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengemukakan
pendapatnya tentang suatu masalah yang dibicarakan dalam perundingan itu.
Secara istilah, Ibn al-’Arabi berkata, sebagian ulama berpendapat bahwa
musyawarah adalah berkumpul untuk membicarakan suatu perkara agar
masing-masing meminta pendapat yang lain dan mengeluarkan apa saja yang ada
dalam dirinya.
Sedangkan al-Alusi menulis dalam kitabnya, bahwa al-Raghib berkata,
musyawarah adalah mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan sebagiannya pada
sebagian yang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat yang lain
untuk mendapat satu pendapat yang disepakati.
Dengan demikian musyawarah adalah berkumpulnya manusia untuk membicarakan
suatu perkara agar masing-masing mengeluarkan pendapatnya kemudian diambil
pendapat yang disepakati bersama.
Musyawarah pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk hal-hal yang baik,
sejalan dengan makna dasarnya, yaitu mengeluarkan madu. Oleh karena itu
unsur-unsur musyawarah yang harus dipenuhi adalah : a) Al-Haq : yang
dimusyawarahkan adalah kebenaran, b) Al-’Adlu : dalam musyawarah mengandung nilai keadilan, c) Al-Hikmah : dalam musyawarah dilakukan dengan bijaksana.
Dalil Al-Qur’an dan Al Hadist yang menjelaskan tentang musyawarah, antara
lain :
Surat Al-Baqarah ayat 233 :
فَإِنْ
أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
(البقرة: ٢٣٣ )
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin
menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan
antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat ini
membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan
yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari
menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua
harus mengadakan musyawarah
Surat Ali
‘Imran ayat 159 :
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩ )
Artinya:
“Maka disebabkan rahmat
Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau
bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau
telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)
Hadist dari Hasan ra
عَنِ
الْحَسَنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: قَدْ عَلَمَ اللهُ أَنَّهُ مَا بِهِ إِلَيْهِمْ
حَاجَةُ, وَلَكِنَّهُ أَرَادَ أَنْ يُسْتَنَ بِهِ مِنْ بَعْدِه. وَعَنْ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
( ما تشا ور قوم
قط إلا هدوا لأرشد أمرهم ))
“Hadtis yang diriwayatkan dari hasan semoga ridha Allah darinya: Allah
sungguh mengetahui apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan enam
puluh orang. Dan dari Nabi saw: (suatu kaum memadai dalam bernusyawarah tetang
sesuatu kecuali mereka ditunjuki jalan yang lurus untuk urusan mereka).”
Hadits dari Imam
Ahmad
قَالَ رَسُوْلُ اللهَ صَلىّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ
لِآ بِى بَكْرِ وَ عُمَرَ: لَوِاجْتَمَعْنَمَا فِى مَشُوْرَةِ مَااخْتَلَفْتُكُمَا
(ر. أحمد)
Telah bersabda Rasulullah SAW. Kepada Abu Bakar dan Umar : “Apabila
kalian berdua sepakat dalam musyawarah, maka aku tidak akan menyalahi kamu
berdua.” (HR. Ahmad)
Hadist dari Ibnu Majjah
إِذَا
اسْتَشَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَسَرَّ عَلَيْهِ (ابن
ماجه)
Apabila salah seorang kamu meminta bermusyawarah dengan saudaranya,
maka penuhilah. (HR. Ibnu Majah).
B.
Ayat-ayat Musyawarah.
Dalam al-Qur’an, kata شَوَرَ dengan segala perubahannya berulang 4 kali, yaitu أشَارَ (ت) , تَشَاوُر, شَاوِر, dan شُوْرَى. Sedangkan kata
yang menunjukkan tentang musyawarah ada 3 (tiga): QS. Al-Syura: 38, QS. Al-Baqarah: 233 dan QS. Ali Imran: 159
Pertama, surat al-Syura, ayat 38 (Makkiyyah):
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.” (QS.
Al-Syura: 38)
Ayat Ini
menunjukan bahwa musyawarah merupakan salah satu karakteristik penting yang
khas bagi umat Islam, selain iman kepada Allah, mendirikan shalat, saling
menolong dalam masalah ekonomi. Oleh karena itu Allah memuji orang yang
melaksanakannya.
Musyawarah merupakan salah satu
ibadah terpenting. Oleh sebab itu, masyarakat yang mengingkari atau mengabaikan
musyawarah dapat dianggap sebagai masyarakat yang cacat dalam komitmen terhadap
salah satu bentuk ibadah.
Kedua, terdapat
dalam surah Al-Baqarah, ayat 233 (Madaniyyah):
لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا
وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ
أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
“Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya (suami isteri) ingin menyapih
anak mereka (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan
antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Ayat ini menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan suami isteri sebagai
mitra dalam rumah tangga saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah
tangga dan anak-anak mereka (seperti menyapih anak) dengan jalan musyawarah.
Ketiga, terdapat dalam surah Ali Imran ayat 159 (Madaniyyah):
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ
كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka dengan
rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka,
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan. Kemudian apabila engkau telah
membulatkan tekad, bertawakkallah kepada-Nya.
Dalam ayat
ini disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara
harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati
akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah
tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan
sinarnya kekeruhan hati.
Disisi lain,
orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf.
Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau
keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal
itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah
musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.
Surah Ali
Imran ayat 159 dapat dipahami dari penafsiran para ulama, bahwa ayat ini
diturunkan seusai perang Uhud. Ketika itu sebagian sahabat ada yang melanggar
perintah Nabi. Akibat pelanggarana itu akhirnya menyeret kaum muslimin ke dalam
kegagalan sehingga kaum musyirikin dapat mengalahkan mereka (kaum muslimin) dan
umat Islam menderita kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya
adalah Hamzah, Mush’ab dan Sa’ad bin ar Rabi’. Namun Rasulullah tetap diserukan
untuk bersabar, tahan uji dan bersikap lemah lembut, tidak mencela kesalahan
para sabahatnya dan tetap bermusyawarah dengan mereka, sebagaimana yang
terkandung dalam surah Ali Imran ayat 159.
C. Kaidah-Kaidah
Syura
Di dalam surat
Ali Imrah: 159 di atas, terdapat kaidah syura yang harus kita penuhi ketika
kita melakukan musyawarah, antara lain :
1) Berlaku
lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan maupun perbuatan, bukan dengan sikap dan
kata-kata yang kasar, karena hal itu hanya akan menyebabkan mereka meninggalkan
majelis syura.
2) Memberi
maaf atas hal-hal buruk yang dilakukan sebelumnya atau orang yang bermusyawarah
harus menyiapkan mental pemaaf terhadap orang lain karena bisa jadi dalam
proses musyawarah itu akan terjadi hal-hal kurang menyenangkan atas sikap,
perkataan atau tindak-tanduk orang lain terhadap diri kita.
3) Berorientasi
pada kebenaran, karena sesudah musyawarah dilaksanakan, keputusan-keputusan
yang telah diambil harus dijalankan dan semua itu dalam rangka menunjukkan
ketaqwaan kepada Allah Swt.
4) Memohon
ampun bila melakukan kesalahan sehingga dalam musyawarah bila seseorang
mengemukakan pendapatnya yang disadari sebagai sesuatu yang salah ia akan
mencabut pendapatnya itu meskipun telah disetujui oleh majelis syura.
5) Bertawakkal
kepada Allah Swt setelah musyawarah selesai, bukan malah saling salah
menyalahkan ketika ada hal-hal yang tidak menyenangkan menimpa jamaah atau
organisasi.
D. Hikmah
Syura
Manakala syura
telah dilaksanakan dengan baik, ada banyak hikmah yang akan diperoleh bagi kaum
muslimin dalam kehidupan berjamaah. Sekurang-kurangnya, ada lima hikmah yang
akan kita peroleh, yaitu :
1) Keputusan
yang akan diambil akan lebih sempurna dibanding tanpa musyawarah.
2) Masing-masing
orang merasa terikat terhadap keputusan musyawarah sehingga ada rasa memiliki
terhadap isi keputusan musyawarah tersebut dan dapat mempertanggungjawabkannya
secara bersama-sama.
3) Memperkokoh
hubungan persaudaraan dengan sesama muslim pada umumnya dan anggota dalam
jamaah pada khususnya yang harus saling kuat menguatkan. Dengan demikian, dapat
dihindari terjadinya perpecahan yang diakibatkan tidak dipertemukannya
perbedaan pendapat.
4) Dapat
dihindari terjadinya dominasi mayoritas dan tirani minoritas, karena dalam
musyawarah, hakikat pengambilan keputusan terletak pada kebenaran, bukan
semata-mata pertimbangan banyaknya jumlah yang berpendapat atau berpihak pada
suatu persoalan.
5) Dapat
dihindari adanya hasutan, fitnah dan adu domba yang dapat memecah belah barisan
perjuangan kaum muslimin, karena musyawarah dapat memperjelas semua persoalan
yang dihadapi.
Dari uraian di
atas, menjadi jelas bagi kita betapa dalam kehidupan keluarga, masuyarakat dan
bangsa sangat penting untuk dilakukan musyawarah dan masalah-masalah yang
berkembang harus didialogkan sehingga dari dialog bisa dijadikan sebagai
pembahasan yang bisa dimusyawarahkan.
E.
Prinsip-prinsip Dasar Musyawarah
Prinsip-prinsip
dasar tersebut adalah :
1) Al-Hurriyyah
Al-Hurriyyah adalah kebebasan,
artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan
untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara
yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr
bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi
penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya
kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol
sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam
suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela. Patut disimak sabda
Nabi yang berbunyi:
“Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidak mampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang terakhir ini termasuk selemah-lemah iman”.
“Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidak mampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang terakhir ini termasuk selemah-lemah iman”.
2) Al-Musawah
Al-Musawah adalah kesejajaran,
egaliter, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain
sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini
penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam,
pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan
kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh
sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian
juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan
perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil.
Sebagian ulama’ memahami (lihat
Tolchah, 199: 26), al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip
al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam
hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil Sunnah-nya cukup banyak
antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga
Bani Hasyim. Dalam hal ini Nabi pernah berpesan kepada keluarga Bani Hasyim
sebagaimana sabdanya:
“Wahai Bani Hasyim, jangan sampai
orang lain datang kepadaku membawa prestasi amal, sementara kalian datang hanya
membawa pertalian nasab. Kemuliaan kamu di sisi Allah adalah ditentukan oleh
kualitas takwanya”.
3) Al-‘Adalah
Al-‘adalah adalah keadilan, artinya
dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan
harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti
pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh
Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan”.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan”.
Ajaran tentang keharusan mutlak
melaksanakan hukum dengan adil tanpa pandang bulu ini, banyak ditegaskan
dalam al-Qur’an, bahkan disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua
sendiri dan karib kerabat. Nabi juga menegaskan, , bahwa kehancuran
bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika “orang kecil” melanggar pasti
dihukum, sementara bila yang melanggar itu “orang besar” maka dibiarkan berlalu
(Majid, 1998: 54).
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Musyawarah
merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam agama. Banyak manfaat dari musyawarah. Alquran
dan Alhadist merupakan dua landasan pokok yang harus dijadikan pedoman hidup.
Dengan berpegang teguh pada Alquran dan Alhadist tidak akan tersesat dalam
menjalani kehidupan.
Musyawarah merupakan suatu jalan untuk menciptakan kedamaian dalam
kehidupan manusia, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan bahkan dalam
suatu negara. Karena musyawarah adalah merupakan suatu bentuk pemberian
penghargaan terhadap diri manusia yang ingin diperlakukan sama dalam derajatnya
sebagai manusia untuk ikut bersama baik dalam aktivitas kerja maupun pemikiran.
Sedangkan
dalam bermusyawarah seharunya para anggota memiliki sikap lemah lembut, pemaaf,
merasa tidak luput dari salah dan dosa, membulatkan tekad dalam mencari
keputusan dan bertawakkal pada Allah.
B. Saran
Kita sebagai umat Islam seharusnya berpegang teguh terhadap Alquran dan
As-Sunnah. Termasuk didalamnya mengambil keputusan dengan cara musyawarah.
Sesuatu yang datangnya dari agama tidak perlu diragukan lagi, didalamnya pasti
akan membawa banyak manfaat.
LAMPIRAN
Permasalahan yang berkaitan dengan
musyawarah (syura) pada sekarang ini adalah musyawarah mengenai calon-calon
pemimpin yang dilatih untuk peka dan kritis terhadap masalah yang ada dan mau
memikirkan solusi bersama-sama. Saat ini kehidupan bermusyawarah dan beradu
argumen sudah luntur. Orang-orang mulai nyaman dengan dunianya sendiri dan
cenderung menghindari konflik. Orang-orang pun terjebak dalam budaya instan.
Menginginkan penyelesaian masalah yang instan dan tidak mengakar. Voting
menjadi pilihan pertama dan utama dalam menentukan keputusan. Voting tetaplah harus menjadi bagian dari
musyawarah bila dirasa memang tidak memungkinkan untuk diadakan musyawarah atau
benar-benar deadlock. Dalam
zaman di mana imaging diutamakan,
maka yang populer-lah yang akan menang (padahal yang populer belum tentu yang
paling baik dan benar) dan berpotensi melahirkan konflik-konflik lebih besar.
Dalam suasana demokrasi saat ini, jangan
sampai terjebak dalam “mobokrasi”. Beberapa tahun terakhir ini,
setiap ada masalah, emosi yang dikedepankan. Setiap problem dirampungkan pakai
okol (otot). Sedikit-sedikit ngamuk. Segala masalah dijawab dengan kekerasan. Kekerasan
nomor satu. Musyawarah pilihan paling buncit. Satu faktor lain yang turut
berperan meredupnya nilai musyawarah untuk mufakat adalah sistem politik dan
sosial yang kurang menghargai penahapan-penahapan suatu kemajuan sosial. Dalam
sistem ini orang tidak dididik bahwa kemajuan memerlukan pengorbanan. Hal yang
ada adalah menikmati keberhasilan secepat mungkin, walaupun dengan cara yang
diharamkan berbagai norma. Tak mengherankan manakala orang keranjingan dengan
segala hal yang berbau instant.
Pada pengambilan keputusan melalui
musyawarah untuk mufakat, kemungkinan terjadinya pertikaian dan perpecahan akan
lebih kecil. Karena keputusan baru diambil jika telah dicapai kesepakatan dari
semua peserta musyawarah ( dicapai mufakat ). Namun cara seperti ini akan
memakan waktu yang lebih lama dibandingkan voting. Akan butuh waktu yang
panjang untuk mencari jalan tengah yang dapat diterima semua pihak, apalagi
jika peserta musyawarah jumlahnya banyak. Akan sangat sulit dicapai mufakat,
karena semakin banyak orang pasti akan semakin banyak pendapat dan kepentingan.
Daftar Pustaka
Elmubarok,
Zaim. dkk. Islam Rahmatan lil’alamin. Semarang: Universitas Negeri
Semarang Press. 2012
http://ulya-qisty.blogspot.com/2012/06/musyawarah-dalam-pandangan-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar