Sekolah Dasar

Sabtu, 06 Juli 2013

makalah PAI



SISTEM MUSYAWARAH ATAU SYURA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas individu
Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen : Drs. Ali Sunarso, M.Pd
Oleh :
Siti Rohmaniyah (1401412331)
Rombel : 82

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa, musyawarah merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Hal ini karena dalam kehidupan berjamaah, ada banyak kepentingan, kebutuhan maupun persoalan yang harus dihadapi dan diatasi secara bersama-sama agar bisa terjalin kerjasama yang baik.
Dalam agama islam telah diajarkan bahwa menyelesaikan permasalahan tidak harus dengan emosi atau atas kehendak sendiri, melainkan dengan jalan musyawarah.
Dalam proses musyawarah itu berlangsung dialog dan komunikasi sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak untuk menegakkan nilai-nilai Islam.
Musyawarah telah menjadi wacana yang sangat menarik. Hal itu terjadi karena istilah ini disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits, sehingga musyawarah secara tekstual merupakan fakta wahyu yang tersurat dan bisa menjadi ajaran normatif dalam Islam. Bahkan menjadi sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan umat manusia, yang dalam setiap detik perkembangan umat manusia, musyawarah senantiasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan di tengah perkembangan kehidupan umat manusia.
Musyawarah yang diajarkan oleh al-Qur’an bisa dianggap sebagai tawaran konsep utuh yang selalu relevan dengan setiap perkembangan politik umat manusia karena musyawarah merupakan ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan.
Rasulullah telah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim dengan perkataan dan perbuatan, dan para sahabat dan tabi’in para pendahulu umat Islam mengikuti petunjuk beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi salah satu ciri khas dalam masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian musyawarah (syura) ?
2.      Bagaimana penjelasan musyawarah dalam ayat Al-Quran ?
3.      Apa kaidah-kaidah dalam musyawarah ?
4.      Apa saja hikmah melaksanakan musyawarah ?
5.      Apa saja prinsip dasar musyawarah ?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui berbagai macam pendapat tentang pengertian dari musyawarah.
2.      Mengetahui ayat-ayat suci Al-Quran yang mengandung makna musyawarah.
3.      Mengetahui kaidah-kaidah dalam musyawarah.
4.      Mengetahui hikmah dalam melaksanakan kegiatan musyawarah.
5.      Mengetahui prinsip-prnsip dasar musyawarah.




























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Musyawarah (Syura)
Secara bahasa syûrâ bisa berarti mengambil, melatih, menyodorkan diri, dan meminta pendapat atau nasihat. Secara umum, asy-syûrâ artinya meminta sesuatu. Kata ( شور )  Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi شورى )  ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya  Kata ini terambil dari kalimat (شرلت العس) saya mengeluarkan madu dari wadahnya. Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran. Perundingan itu juga disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang dibicarakan dalam perundingan itu.
Secara istilah, Ibn al-’Arabi berkata, sebagian ulama berpendapat bahwa musyawarah adalah berkumpul untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing meminta pendapat yang lain dan mengeluarkan apa saja yang ada dalam dirinya.
Sedangkan al-Alusi menulis dalam kitabnya, bahwa al-Raghib berkata, musyawarah adalah mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan sebagiannya pada sebagian yang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat yang lain untuk mendapat satu pendapat yang disepakati.
Dengan demikian musyawarah adalah berkumpulnya manusia untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing mengeluarkan pendapatnya kemudian diambil pendapat yang disepakati bersama.
Musyawarah pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya, yaitu mengeluarkan madu. Oleh karena itu unsur-unsur musyawarah yang harus dipenuhi adalah : a) Al-Haq : yang dimusyawarahkan adalah kebenaran, b) Al-’Adlu : dalam musyawarah mengandung nilai keadilan, c) Al-Hikmah : dalam musyawarah dilakukan dengan bijaksana.
Dalil Al-Qur’an dan Al Hadist yang menjelaskan tentang musyawarah, antara lain :
Surat Al-Baqarah ayat 233 :
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (البقرة: ٢٣٣ )
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus mengadakan musyawarah
Surat Ali ‘Imran ayat 159 :    

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩ )
Artinya:
Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)
Hadist dari Hasan ra

عَنِ الْحَسَنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: قَدْ عَلَمَ اللهُ أَنَّهُ مَا بِهِ إِلَيْهِمْ حَاجَةُ, وَلَكِنَّهُ أَرَادَ أَنْ يُسْتَنَ بِهِ مِنْ بَعْدِه. وَعَنْ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    ( ما تشا ور قوم قط إلا هدوا لأرشد أمرهم ))
           
            “Hadtis yang diriwayatkan dari hasan semoga ridha Allah darinya: Allah sungguh mengetahui apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan enam puluh orang. Dan dari Nabi saw: (suatu kaum memadai dalam bernusyawarah tetang sesuatu kecuali mereka ditunjuki jalan yang lurus untuk urusan mereka).”
   Hadits dari Imam Ahmad     
 قَالَ رَسُوْلُ اللهَ صَلىّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ لِآ بِى بَكْرِ وَ عُمَرَ: لَوِاجْتَمَعْنَمَا فِى مَشُوْرَةِ مَااخْتَلَفْتُكُمَا (ر. أحمد)
            Telah bersabda Rasulullah SAW. Kepada Abu Bakar dan Umar : “Apabila kalian berdua sepakat dalam musyawarah, maka aku tidak akan menyalahi kamu berdua.”  (HR. Ahmad)
Hadist dari Ibnu Majjah
 إِذَا اسْتَشَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَسَرَّ عَلَيْهِ (ابن ماجه)        
            Apabila salah seorang kamu meminta bermusyawarah dengan saudaranya, maka penuhilah. (HR. Ibnu Majah).

B.     Ayat-ayat Musyawarah.
Dalam al-Qur’an, kata شَوَرَ dengan segala perubahannya berulang 4 kali, yaitu أشَارَ (ت) , تَشَاوُر, شَاوِر, dan شُوْرَى. Sedangkan kata yang menunjukkan tentang musyawarah ada 3 (tiga): QS. Al-Syura: 38, QS. Al-Baqarah: 233 dan QS. Ali Imran: 159
Pertama, surat al-Syura, ayat 38 (Makkiyyah):
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Syura: 38)
Ayat Ini menunjukan bahwa musyawarah merupakan salah satu karakteristik penting yang khas bagi umat Islam, selain iman kepada Allah, mendirikan shalat, saling menolong dalam masalah ekonomi. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melaksanakannya.
Musyawarah merupakan salah satu ibadah terpenting. Oleh sebab itu, masyarakat yang mengingkari atau mengabaikan musyawarah dapat dianggap sebagai masyarakat yang cacat dalam komitmen terhadap salah satu bentuk ibadah.
Kedua, terdapat dalam surah Al-Baqarah, ayat 233 (Madaniyyah):
لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
“Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya (suami isteri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Ayat ini menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak mereka (seperti menyapih anak) dengan jalan musyawarah.
Ketiga, terdapat dalam surah Ali Imran ayat 159 (Madaniyyah):
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka dengan rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada-Nya.
Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.
Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.
Surah Ali Imran ayat 159 dapat dipahami dari penafsiran para ulama, bahwa ayat ini diturunkan seusai perang Uhud. Ketika itu sebagian sahabat ada yang melanggar perintah Nabi. Akibat pelanggarana itu akhirnya menyeret kaum muslimin ke dalam kegagalan sehingga kaum musyirikin dapat mengalahkan mereka (kaum muslimin) dan umat Islam menderita kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya adalah Hamzah, Mush’ab dan Sa’ad bin ar Rabi’. Namun Rasulullah tetap diserukan untuk bersabar, tahan uji dan bersikap lemah lembut, tidak mencela kesalahan para sabahatnya dan tetap bermusyawarah dengan mereka, sebagaimana yang terkandung dalam surah Ali Imran ayat 159.
C.     Kaidah-Kaidah Syura
Di dalam surat Ali Imrah: 159 di atas, terdapat kaidah syura yang harus kita penuhi ketika kita melakukan musyawarah, antara lain :
1)      Berlaku lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan maupun perbuatan, bukan dengan sikap dan kata-kata yang kasar, karena hal itu hanya akan menyebabkan mereka meninggalkan majelis syura.
2)      Memberi maaf atas hal-hal buruk yang dilakukan sebelumnya atau orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental pemaaf terhadap orang lain karena bisa jadi dalam proses musyawarah itu akan terjadi hal-hal kurang menyenangkan atas sikap, perkataan atau tindak-tanduk orang lain terhadap diri kita.
3)      Berorientasi pada kebenaran, karena sesudah musyawarah dilaksanakan, keputusan-keputusan yang telah diambil harus dijalankan dan semua itu dalam rangka menunjukkan ketaqwaan kepada Allah Swt.
4)      Memohon ampun bila melakukan kesalahan sehingga dalam musyawarah bila seseorang mengemukakan pendapatnya yang disadari sebagai sesuatu yang salah ia akan mencabut pendapatnya itu meskipun telah disetujui oleh majelis syura.
5)      Bertawakkal kepada Allah Swt setelah musyawarah selesai, bukan malah saling salah menyalahkan ketika ada hal-hal yang tidak menyenangkan menimpa jamaah atau organisasi.
D.    Hikmah Syura
Manakala syura telah dilaksanakan dengan baik, ada banyak hikmah yang akan diperoleh bagi kaum muslimin dalam kehidupan berjamaah. Sekurang-kurangnya, ada lima hikmah yang akan kita peroleh,  yaitu :
1)      Keputusan yang akan diambil akan lebih sempurna dibanding tanpa musyawarah.
2)      Masing-masing orang merasa terikat terhadap keputusan musyawarah sehingga ada rasa memiliki terhadap isi keputusan musyawarah tersebut dan dapat mempertanggungjawabkannya secara bersama-sama.
3)      Memperkokoh hubungan persaudaraan dengan sesama muslim pada umumnya dan anggota dalam jamaah pada khususnya yang harus saling kuat menguatkan. Dengan demikian, dapat dihindari terjadinya perpecahan yang diakibatkan tidak dipertemukannya perbedaan pendapat.
4)      Dapat dihindari terjadinya dominasi mayoritas dan tirani minoritas, karena dalam musyawarah, hakikat pengambilan keputusan terletak pada kebenaran, bukan semata-mata pertimbangan banyaknya jumlah yang berpendapat atau berpihak pada suatu persoalan.
5)      Dapat dihindari adanya hasutan, fitnah dan adu domba yang dapat memecah belah barisan perjuangan kaum muslimin, karena musyawarah dapat memperjelas semua persoalan yang dihadapi.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita betapa dalam kehidupan keluarga, masuyarakat dan bangsa sangat penting untuk dilakukan musyawarah dan masalah-masalah yang berkembang harus didialogkan sehingga dari dialog bisa dijadikan sebagai pembahasan yang bisa dimusyawarahkan.

E.     Prinsip-prinsip Dasar Musyawarah
Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah :
1)      Al-Hurriyyah
Al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf  wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka  tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol  dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela. Patut disimak sabda Nabi yang berbunyi:

“Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidak mampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang terakhir ini termasuk selemah-lemah iman”.
2)      Al-Musawah
Al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif  Islam, pemerintah adalah orang atau institusi  yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil.
Sebagian ulama’ memahami (lihat Tolchah, 199: 26), al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil Sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi  kepada keluarga Bani Hasyim. Dalam hal ini Nabi pernah berpesan kepada keluarga Bani Hasyim sebagaimana sabdanya:
“Wahai Bani Hasyim, jangan sampai orang lain datang kepadaku membawa prestasi amal, sementara kalian datang hanya membawa pertalian nasab. Kemuliaan kamu di sisi Allah adalah ditentukan oleh kualitas takwanya”.
3)      Al-‘Adalah
Al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90:




“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan”.
Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil tanpa pandang bulu ini, banyak ditegaskan  dalam al-Qur’an, bahkan disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat. Nabi juga menegaskan, , bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika “orang kecil” melanggar pasti dihukum, sementara bila yang melanggar itu “orang besar” maka dibiarkan berlalu (Majid, 1998: 54).






















BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Musyawarah merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam agama. Banyak manfaat dari musyawarah. Alquran dan Alhadist merupakan dua landasan pokok yang harus dijadikan pedoman hidup. Dengan berpegang teguh pada Alquran dan Alhadist tidak akan tersesat dalam menjalani kehidupan.
Musyawarah merupakan suatu jalan untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan manusia, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan bahkan dalam suatu negara. Karena musyawarah adalah merupakan suatu bentuk pemberian penghargaan terhadap diri manusia yang ingin diperlakukan sama dalam derajatnya sebagai manusia untuk ikut bersama baik dalam aktivitas kerja maupun pemikiran.
Sedangkan dalam bermusyawarah seharunya para anggota memiliki sikap lemah lembut, pemaaf, merasa tidak luput dari salah dan dosa, membulatkan tekad dalam mencari keputusan dan bertawakkal pada Allah.
B.  Saran
Kita sebagai umat Islam seharusnya berpegang teguh terhadap Alquran dan As-Sunnah. Termasuk didalamnya mengambil keputusan dengan cara musyawarah. Sesuatu yang datangnya dari agama tidak perlu diragukan lagi, didalamnya pasti akan membawa banyak manfaat.














LAMPIRAN
Permasalahan yang berkaitan dengan musyawarah (syura) pada sekarang ini adalah musyawarah mengenai calon-calon pemimpin yang dilatih untuk peka dan kritis terhadap masalah yang ada dan mau memikirkan solusi bersama-sama. Saat ini kehidupan bermusyawarah dan beradu argumen sudah luntur. Orang-orang mulai nyaman dengan dunianya sendiri dan cenderung menghindari konflik. Orang-orang pun terjebak dalam budaya instan. Menginginkan penyelesaian masalah yang instan dan tidak mengakar. Voting menjadi pilihan pertama dan utama dalam menentukan keputusan. Voting tetaplah harus menjadi bagian dari musyawarah bila dirasa memang tidak memungkinkan untuk diadakan musyawarah atau benar-benar deadlock. Dalam zaman di mana imaging diutamakan, maka yang populer-lah yang akan menang (padahal yang populer belum tentu yang paling baik dan benar) dan berpotensi melahirkan konflik-konflik lebih besar.
Dalam suasana demokrasi saat ini, jangan sampai terjebak dalam mobokrasi”. Beberapa tahun terakhir ini, setiap ada masalah, emosi yang dikedepankan. Setiap problem dirampungkan pakai okol (otot). Sedikit-sedikit ngamuk. Segala masalah dijawab dengan kekerasan. Kekerasan nomor satu. Musyawarah pilihan paling buncit. Satu faktor lain yang turut berperan meredupnya nilai musyawarah untuk mufakat adalah sistem politik dan sosial yang kurang menghargai penahapan-penahapan suatu kemajuan sosial. Dalam sistem ini orang tidak dididik bahwa kemajuan memerlukan pengorbanan. Hal yang ada adalah menikmati keberhasilan secepat mungkin, walaupun dengan cara yang diharamkan berbagai norma. Tak mengherankan manakala orang keranjingan dengan segala hal yang berbau instant.
Pada pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mufakat, kemungkinan terjadinya pertikaian dan perpecahan akan lebih kecil. Karena keputusan baru diambil jika telah dicapai kesepakatan dari semua peserta musyawarah ( dicapai mufakat ). Namun cara seperti ini akan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan voting. Akan butuh waktu yang panjang untuk mencari jalan tengah yang dapat diterima semua pihak, apalagi jika peserta musyawarah jumlahnya banyak. Akan sangat sulit dicapai mufakat, karena semakin banyak orang pasti akan semakin banyak pendapat dan kepentingan.
Daftar Pustaka

Elmubarok, Zaim. dkk. Islam Rahmatan lil’alamin. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press. 2012
http://ulya-qisty.blogspot.com/2012/06/musyawarah-dalam-pandangan-islam.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar