BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa
a.
Pengertian Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi adalah
proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika dia memeroleh bahasa
pertamanya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language
learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi
pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia mempelajari
bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama,
sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Namun, banyak juga
yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa untuk bahasa kedua seperti Nurhadi
dan Roekhan (1990 dalam Chaer 2003:167).
Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua
keterampilan yaitu kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan
kemampuan untuk memahami tuturan dari orang lain. Jika dikaitkan dengan hal
tersebut, maka yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan
kemampuan berbahasa baik berupa pemahaman ataupun pengungkapan secara alami
tanpa melalui kegiatan pembelajaran secara formal (Tarigan dkk, 1998).Selain
pendapat tersebut Kiparsky dan Tarigan (1988) mengatakan bahwa pemerolehan
bahasa adalah suatu proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan
serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua hingga dapat memilih kaidah tata
bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa yang bersangkutan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam pemerolehan bahasa:
a)
Berlangsung dalam situasi informal, anak-anak belajar tanpa beban dan
berlangsung di luar sekolah
b)
Pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembaga-lembaga
pendidikan seperti sekolah atau kursus
c)
Dilakukan tanpa sadar atau secara spontan
d)
Dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang
bermakna bagi anak
Pemerolehan
bahasa erat hubungannya dengan perkembangan sosial anak. Bahasa memudahkan
anak-anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar
dapat diterima secara sosial.
b.
Perkembangan Bahasa Anak
Tahapan perkembangan bahasa anak dapat dibagi atas :
a)
Tahap pralingustik
b)
Tahap satu-kata
c)
Tahap dua-kata, dan
d)
Tahap banyak kata.
a)
Tahap Pralingustik (0-12 bulan)
Pada tahap ini bayi mulai memperoleh bahasa
ketika berumur kurang dari satu tahun. Namun bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan
belum bermakna. Bunyi-bunyi itu berupa vocal atau konsonan tertentu tetapi
tidak mengacu pada kata atau makna tertentu biasanya hanya berupa tangisan.
Bayi yang berusia 4 sampai 7 bulan biasanya sudah mulai menghasilkan banyak suara baru yang
menyebabkan masa ini disebut masa ekspansi (Dworetzky,1990). Suara-suara baru
itu meliputi bisikan,menggeram, dan memekik. Setelah memasuki usia 7 sampai 12 bulan ocean
bayi meningkat pesat.sebagian bayi mulai mengucapkan suku kata dan menggandakan
rangkaian kata seperti “dadada” atau “mamama”.
b)
Tahap Satu-Kata (12 sampai 18 bulan)
Pada tahap ini anak sudah mulai belajar
menggunakan satu kata yang memiliki arti yang mewakili keseluruhan artinya.
Satu-kata mewakili satu lebih frase atau kalimat.
Contoh :
Ujaran kata Maksud
1. “ Juju!“
(sambil memegang baju ) Mau
memakai baju atau Ini baju saya
2. “ Gi! “ (sambil menunjuk keluar ) Mau pergi atau keluar
3.“ Bum-bum” (sambil menunjuk motor) Itu motor atau saya mau naik motor
c)
Tahap Dua-Kata (18 sampai 24 bulan)
Pada tahap ini anak sudah mulai mencapai
tahap kombinasi dua kata. Kata-kata yang diucapkan ketika masih dalam tahap
satu kata dikombinasikan dalam ucapan-ucapan pendek tampa kata petunjuk, kata
depan, atu bentuk-bentuk lain yang seharusnya digunakan.
Contoh : “Ma, pelgi”, maksudnya “mama, saya
mau pergi”
d)
Tahap banyak-kata (3 sampai 5 tahun)
Pada usia 3 sampai 4 tahun tuturan anak sudah
mulai lebih panjang dan tata bahasanya lebih teratur. Dia tidak lagi menggunakan
hanya dua kata tetapi tiga atau lebih. Pada umur 5 sampai 6 tahun bahasa anak
sudah menyerupai bahasa orang dewasa. Anak telah mampu menggunakan bahasa dalam
berbagai cara untuk berbagai keperluan, termasuk bercanda atau menghibur.
B. Pemerolehan Bahasa
Pertama
Bahasa pertama seringkali disebut dengan bahasa ibu.
Penggunaan istilah bahasa ibu perlu mendapatkan koreksi karena dalam hal ini
terdapat berbagai kasus yang pada akhirnya menggugurkan istilah bahasa ibu.
Kasus yang sering terjadi yaitu di berbagai kota besar yang multilingual
seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dsb. Bahasa ibu bukanlah bahasa apa yang
digunakan atau dikuasai oleh si ibu sejak lahir. Di Jakarta banyak pasangan
suami-istri
yang memilki bahasa daerah yang berbada-beda, tapi si anak sudah tidak
diajarkan lagi bahasa daerah (bahasa si ayah atau ibu), namun si anak
sudah mulai diajarkan bahasa Indonesia. dengan demikian bahasa ibu atau bahasa
pertama si anak adalah bahasa Indonesia, dan bukan bahasa yang digunakan oleh ibu
bapaknya. Jadi, sebenarnya penggunaan bahasa pertama akan lebih tepat daripada
penggunaan bahasa ibu.
Gelombang penelitian dalam pemerolehan bahasa anak-anak
ini mendorong para guru bahasa dan pendidik untuk mempelajari beberapa temuan
umum demi membuat perbandingan antara pemerolehan bahasa pertama dan kedua
(Brown, 2007: 26).
Dalam hal ini, akan dipaparkan beberapa pendekatan yang
menunjang pemerolehan bahasa pertama, yaitu pendekatan bahavioristik, Nativis,
dan Fungsional.
1.
Pendekatan Behavioristik
Menurut
Brown (2007: 28), bahasa adalah bagian fundamental dari keseluruhan perilaku
manusia, dan para psikolog behavioristik menelitinya dalam kerangka itu dan
berusaha merumuskan teori-teori konsisten tentang pemerolehan bahasa pertama.
Kemampuan setiap penutur terhadap B1 (Bahasa Pertama) dan B2 (Bahasa Kedua)
sangat bervariasi. Ada penutur yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, tetapi
ada pula yang tidak. Pendekatan behavioristik terfokus pada aspek-aspek yang
dapat ditangkap langsung dari perilaku linguistik dan berbagai hubungan atau kaitan antara
respon-respon itu dan peristiwa-peristiwa di dunia sekeliling mereka.
Seorang behavioris memandang perilaku bahasa yang efektik sebagai wujud
tanggapan yang tepat terhadap stimuli. Jika sebuah respon tertentu dirangsang
berulang-ulang, maka bisa menjadi sebuah kebiasaan, atau terkondisikan.
Begitu
juga jika dikaitakan dalam memperlajari bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama. Jika orangtua sama-sama bertutur bahasa Indonesia, begitu juga dengan
teman-temannya, dan penyampaian bahasa Indonesia dalam sekolah. Maka, akan
semakin terbiasa si anak tersebut sehingga dalam mempelajari bahasa Indonesia
akan terkondisikan secara sendirinya.
2. Pendekatan Nativis
Istilah ini hadir,
karena diambil dari pernyataan dasar bahwa pemerolehan bahasa sudah ditentukan
dari sananya, bahwa kita lahir dengan kapasitas genetik yang memengaruhi
kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang hasilnya adalah sebuah
konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri kita (Brown, 2007: 30).Teori
ini juga mendapat dukungan dari tokoh linguistik terkenal, yaitu Noam Chomsky
dengan alirannya transformasional. Menurut Soeparno (2002: 53), aliran
transformasional merupakan reaksi dari paham strukturalisme. Karena konsep
strukturalisme mensyaratkan bahwa bahasa sebagai faktor kebiasaan (habit)
seperti halnya dalam pendekatan behavioristik di atas.
Dalam pandangan Chomsky,
dalam otak manusia terdapat sebuah perangkat pemerolehan bahasa atau LAD (Language
Acquisition Device). Mc Neill (dalam Brown, 2007: 31), memaparkan bahwa
terdapat empat perlengkapan linguistik dalam LAD tersebut, yaitu kemampuan
membedakan bunyi wicara dari bunyi-bunyi lain di lingkungan sekitar;
kemampuan menata data linguistik ke dalam berbagai kelas yang bisa disempurnakan
kemudian; pengetahuan bahwa hanya jenis sistem linguistik tertentu yang
mungkin sedangkan yang lain tidak; dan yang terakhir, kemampuan untuk terus
mengevaluasi sistem linguistik yang berkembang untuk membangun kemungkinan
sistem paling sederhana berdasarkan masukan linguistik yang tersedia.Berpegang
pada LAD tersebut, para peneliti mulai berasumsi bahwa manusia secara genetik
dilengkapi kemampuan yang memungkinkan mereka menguasai bahasa dengan
mengajukan sebuah sistem kaidah bahasa universal.
3. Pendekatan Fungsional
Pendekatan terakhir ini menekankan
bahwa kaidah-kaidah yang ditawarkan oleh kaum nativis adalah abstrak, formal,
eksplisit, dan sangat logis, tetapi baru bersentuhan dengan bentuk-bentuk
bahasa dan tidak menghiraukan makna. Makna di sini merupakan tataran fungsional
yang lebih mendalam yang terbangun dari interaksi sosial. Contoh bentuk dalam
bahasa yaitu mulai dari fonem sampai dengan kalimat serta kaidah-kaidah
yang mengaturnya.
Dalam
hal ini, pendekatan ini lebih mengutamakan bahwa bahasa tersebut haruslah
dikaitkan dengan konteks sosial yang bersifat pragmatis yang penuh dengan
bentuk-bentuk. Seorang anak yang keseharian dirumah dan lingkungannnya
menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan memilki kemungkinan lebih berhasil
dalam pelajaran Bahasa Indonesia
daripada anak yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan yang masyarakat yang
tidak menggunakan bahasa Indonesia (Chaer dan Agustina, 2010: 205).
a. Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pertama
Dalam pengamatan umum, anak-anak adalah peniru
yang baik. Segala sesuatu yang ia dilakukan adalah tiruan dari orang-orang di
sekitarnya, senantiasa ia cermati dan kemudian akan ditirukan sama seperti apa
yang dilihatnya. Begitu juga dengan bahasa, jika di dalam rumah menggunakan
bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, maka tidak heran si anak akan
mudah meniru apa yang dikatakan oleh anggota keluarganya. Kita lihat saja di
dalam kota-kota besar seperti Jakarta, anak-anak menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pertama di samping orangtua mereka telah memilki bahasa pertama
masing-masing.
Menurut Brown (2007: 47),
tahap-tahap paling dini pemerolehan bahasa anak-anak memunculkan banyak sekali
peniruan karena bayi mungkin tidak menguasai kategori-kategori semantik untuk
memaknai ujaran. Namun, mereka memiliki rasa perhatian terhadap orang-orang di
sekitar mereka, jadi mau tidak mau akan menirukan ujaran orangtuanya.
Proses belajar-mengajar
bahasa di dalam kelas secara berturut-turut akan dijumpai 1) murid; 2) guru; 3)
bahan pelajaran; dan 4) tujuan pengajaran. Keempat variabel tersebut memiliki
hubungan fungsional dalam proses belajar-mengajar bahasa, dalam hal ini bahasa
Indonesia. variabel-variabel tersebut menentukan keberhasilan belajar
berbahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama yaitu, ketika memang
lingkungan tempat tinggal dan masyarakatnya menggunakan bahasa Indonesia. Tidak
lain pada saat di sekolahan, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pemersatu
bangsa serta upaya pelestarian dari bahasa nasional selayaknya harus dijunjung
tinggi dan tidak ada rasa bosan apalagi jenuh dalam mempelajari bahasa
Indonesia.Dalam masyarakat yang multilingual, multirasial, dan multikultural,
maka faktor kebahasaan, kebudayaan, sosial, dan etnis juga merupakan variabel
yang dapat memengaruhi keberhasilan pengajaran bahasa Indonesia (Chaer dan
Agustina, 2010: 205). Contohnya, ketika ada siswa yang keseharian di rumah dan
lingkungannnya menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan memilki kemungkinan
untuk lebih berhasil dalam pelajaran Bahasa Indonesia daripada anak yang
tinggal dalam keluarga dan lingkungan masyarakatnya tidak menggunakan bahasa
Indonesia.
C. Pemerolehan Bahasa
Kedua
Menurut
Chaer dan Agustina (2010: 215), dalam masyarakat multilingual tentu akan ada
pengajaran bahasa kedua (dan mungkin ketiga). Bahkan bahasa kedua ini bisa
bahasa nasional, bahasa resmi negara, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa
asing (bukan bahasa asli penduduk asli pribumi). Di Indonesia pada umumnya
bahasa Indonesia adalah bahasa kedua (yang secara politis juga berstatus
sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan).
a.
Faktor-Faktor
Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
Dari berbagai hipotesis
yang berkembang, dapat ditentukan beberapa faktor yang dapat menentukan
keberhasilan bahasa kedua, yaitu faktor motivasi, usia, penyajian formal,
bahasa pertama, serta lingkungan.
a)
Faktor
Motivasi
Terdapat asumsi bahwa jika
kita mau belajar suatu bahasa kedua, maka yang diperlukan adalah adanya
dorongan, keinginan, atau tujuan yang hendak dicapai. Ini akan berbeda jika
dibandingkan dengan orang yang tanpa lindasi dorongan, keinginan, serta tujuan
atau motivasi. Menurut KBBI (2008), motivasi adalah dorongan yang timbul pada
diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan
tujuan tertentu. Jadi, pada dasarnya motivasi dalam pembelajaran bahasa berupa
dorongan yang datang dari dalam diri pembelajar yang menyebabkan ia memilki
keinginan yang kuat untuk mempelajari bahasa kedua.
Menurut Gardner dan Lambert
(dalam Chaer: 2009: 251), motivasi memiliki dua fungsi yaitu, fungsi integratif
dan instrumental. Fungsi integratif yaitu jika motivasi tersebut mendorong
seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk
berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota
masyarakat bahasa tersebut. Sedangkan, motivasi berfungsi instrumental adalah
jika motivasi tersebut mendorong sesorang memilki kemauan untuk mempelajari
bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin
memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada masyarakat bahasa
tersebut.
b)
Faktor
Usia
Terdapat anggapan bahwa
dalam mempelajari bahasa kedua, anak-anak lebih baik dan berhasil dari pada
orang dewasa (jika dimulai dari sama-sama nol). Ini membuktikan bahwa
ternyata selain faktor motivasi, ternyata faktor usia juga ikut andil dalam
keberhasilan mempelajari bahasa kedua. Anak-anak sepertinya lebih mudah untuk
cepat memahami, sedangkan orang dewasa tampaknya lebih kesulitan dalam
memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua.
Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh beberapa ahli (Chaer, 2009: 253), memperoleh kesimpulan bahwa
faktor umur (usia) yang tidak dipisahkan dengan faktor lain, adalah faktor yang
berpengaruh dalam pembelajaran bahasa kedua. Perbedaan umur memengaruhi
kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi,
dan sintaksis, tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutannya.
c)
Faktor Penyajian Formal
Seperti dalam pembahasan
sebelumnya, bahwa dalam tipe pembelajaran bahasa terdapat dua jenis, yaitu
secara naturalistik dan formal di dalam kelas. Dalam hal ini, faktor formal
dalam pendidikan di sekolah akan sangat berpengaruh dalam hal pembelajaran
bahasa kedua. Bahasa kedua bisa diorientasikan ke dalam bahasa Indonesia, bisa
juga bahasa asing (jika bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama). Tipe ini
berlangsung secara formal, artinya segala sesuatunya sudah dipersiapkan secara
lebih baik. Dengan adanya guru, materi yang terorganisir, kurikulum, metode,
media belajar, dsb.
Faktor ini memiliki
pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahasa kedua
karena berbagai faktor dan variabel telah dipersiapkan dan diadakan secara
sengaja sehingga tujuan akan cepat terpenuhi. Menurut Rofi’udin (dalam Chaer:
2009: 256), menyatakan bahwa interaksi kelas merupakan bagian dari pembelajaran
bahasa kedua secara formal dapat memberikan pengaruh terhadap kecepatan
pemerolehan bahasa kedua. Interaksi kelas, selain itu juga dapat mendukung
proses penyerapan input menjadi intake.
D. Ragam Pemerolehan
Bahasa Anak
Ragam atau jenis
pemerolehan bahasa anak menurut Tarigan (1988) dapat ditinjau dari berbagai
sudut pandang, antara lain :
a. Berdasarkan bentuk,
b. Berdasarkan urutan,
c. Berdasarkan jumlah,
d. Berdasarkan media,
e. Berdasarkan keaslian.
Berdasarkan dari segi bentuk, dikenal ragam :
a) Pemerolehan bahasa
pertama
b) Pemerolehan bahasa
kedua
c) Pemerolehan ulang
Ditinjau dari segi
urutan, dikenal ragam :
a) Pemerolehan bahasa
pertama
b) Pemerolehan bahasa
kedua
Ditinjau dari segi jumlah, dikenal ragam :
a) Pemerolehan satu
bahasa
b) Pemerolehan dua
bahasa
Ditinjau dari segi media, dikenal ragam :
a) Pemerolehan bahasa
lisan
b) Pemerolehan bahasa
tulis
Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan, dikenal
ragam :
a) Pemerolehan bahasa
asli
b) Pemerolehan bahasa
asing
E. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pemerolehan bahasa anak
a.
Faktor biologis
b.
Faktor lingkungan social
c.
Faktor intelegensi; dan
d.
Faktor motivasi (Tarigan dkk., 1998)
Menurut Ellies dkk. (1989)
mengemukakan bahwa anak belajar berbicara sesuai dengan kebutuhannya. Sekiranya
ia dapat memperoleh apa yang diinginkannya tanpa bersusah payah untuk
memintanya, maka ia tidak merasa perlu untuk berusaha belajar berbahasa. Jadi pada
mulanya motif anak belajar bahasa ialah agar dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, keinginan-keinginannya, dan menguasai lingkungannya
sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
Dengan demikian kebutuhan
utama anak sehingga belajar berbahasa ialah:
a. Keinginan untuk memperoleh informasi
tentang lingkungannya, kemudian mengenal
dirinya sendiri dan kawan-kawannya;
b. Member perintah dan
menyatakan kemauan;
c. Pergaulan social dengan
orang lain; dan
d. Menyatakan pendapat dan
ide-idenya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar